Contoh Makalah Politik Gender Dan Demokrasi


TUGAS MATA KULIAH
POLITIK GENDER DAN DEMOKRASI
“DINAMIKA KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA”











DISUSUN OLEH
NAMA    : DANU RAMDHANA
NIM        : 071013089   
         

    PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
    UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012/2013



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang sudah mempersembahkan kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga sanggup menuntaskan makalah yang berjudul “Dinamika Kesetaraan Gender Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak menerima tantangan dan kendala akan tetapi dengan menolongan dari banyak sekali pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh lantaran itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Dr. Dwi Windyastuti Budi Hendrarti, Dra.,MA dan Dr. Siti Aminah, Dra.,MA selaku dosen Politik Gender Dan Demokrasi atas bimbingan, pengarahan, dan kegampangan yang sudah didiberikan kepada penulis dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak belum sempurnanya pada penulisan makalah ini. Maka dari itu, masukan dan Koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini sanggup bermanfaa bagi siapa saja yang membacanya.


       Surabaya, 4 Juni 2013


Penulis










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................            ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I    PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
      1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
      1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
      1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................            2

BAB II                                                                                                                                    PEMBAHASAN
                  2.1 Permasalahan Kesetaraan Gender di Indonesia............................................. 3
                  2.2 Kesetaraan Gender di Dunia Perpolitikan Indonesia.....................................            5
                  2.3 Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik.............................            6
                  2.4 Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik....... 8                     
BAB III PENUTUP
                  3.1 Kesimpulan................................................................................................. 11
                  3.2 Saran........................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................   12      
                                                                                                                                               


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Dilihat dari latar belakang historisnya, konsep kesetaraan gender berdasarkan Rowbotham tolong-menolong lahir dari  pemberontakan kaum perempuan di negara-negara barat akhir penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun,  barat menganggap perempuan sebagai makhluk inferior, insan yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa.  Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan  perempuan barat menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik  yang  pada kesudahannya dikenal dengan sebutan feminis. Kelahiran “feminisme” dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama yang dimulai dari publikasi Mary Wollstonecraft berjudul “Vindication of the Rights of Women” pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Sesudah itu, muncul feminisme gelombang kedua  dengan doktrinnya yang memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai somasi perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), relasi lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik.  Terakhir yaitu feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada keragaman (diversity),  sebagai teladan ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap tidak sama dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya.
Indonesia pun mempunyai sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Sejak era Kartini, kaum perempuan di Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan gender dalam memperoleh hak-hak publik ibarat yang diperoleh kaum lelaki. Pada dasarnya, jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan aturan sudah ada semenjak Undang-Undang Dasar 1945 dibuat yakni dalam pasal 27 ayat 1.  Namun pada kenyataannya, masih banyak program-program pembangunan yang biayanya dari anggaran keuangan pemerintah Indonesia sendiri atau dari dana menolongan maupun pinjaman luar negeri, yang hasil maupun dampak positifnya lebih memihak laki-laki, ketimbang perempuan. Selain itu, alokasi dana dan sumber-sumber untuk sektor-sektor yang bersahabat dengan perempuan dan menyentuh pada kehidupan privat di pelosok-pelosok Indonesia sangatlah minim. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 ihwal Pengarusutamaan Gender ialah indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam banyak sekali bidang pembangunan, termasuk pembangunan politik yang berwawasan gender. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia menunjukkan representasi yang rendah dalam tiruana tingkat pengambilan keputusan, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai politik, bahkan kehidupan politik lainnya. Oleh lantaran itu pada makalah ini, penulis mencoba untuk mengulas penlampauan yang mencakupkan latar belakang dan pernyataan argumen. Selanjutnya, penulis juga akan menguraikan beberapa gagasan-gagasan serta bukti-bukti yang mendukung argumen tersebut pada potongan diberikutnya, yaitu potongan pembahasan. Dan di potongan terakhir makalah ini, penulis akan mencoba untuk mempersembahkan ringkasan kesimpulan dan juga  masukan.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana permasalahan kesetaraan gender di Indonesia?
2.      Bagaimana arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
3.      Bagaimana upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini yaitu
1.    Mengetahui permasalahan kesetaraan gender di Indonesia
2.    Mengetahui arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
3.    Mengetahui upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
1.4  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1.    Untuk mengetahui bagaimana permasalahan kesetaraan gender di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui bagaimana arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
3.    Untuk mengetahui bagaimana upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan Kesetaraan Gender di Indonesia
Pada dasarnya tiruana orang setuju bahwa perempuan dan laki-laki tidak sama.  Namun, gender bukanlah jenis kelabuin laki-laki dan perempuan sebagai pemdiberian Tuhan. Gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Dalam realitas kehidupan sudah terjadi perbedaan kiprah sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibuat melalui sosial atau kultural, diabadikan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis kelabuin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk kontribusi kiprah (kerja) laki-laki dan perempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah kontribusi kiprah gender yaitu kiprah domestik dan kiprah publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Peran ini lebih banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan kiprah publik yang menghasilkan uang, kekuasaan dan imbas diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat kontribusi kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan kiprah laki-laki dan perempuan yang berakibat ketidakadilan gender yang merugikan perempuan. Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan kiprah antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan suku. Setiap masyarakat suku di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dalam memaknai kiprah gender di Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih  terus diperjuangkan baik di tingkat direktur maupun legislatif. Permasalahan ihwal kesetaraan gender ini meliputi beberapa aspek substantif pemahaman ihwal kebijakan perspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga negara, terutama forum pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi spesialuntuk lantaran perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia ihwal gender itu sendiri masih sangat lambat. Meskipun perempuan ditempatkan pada kiprah domestik di lingkungan keluarga, namun posisi perempuan Indonesia di lingkungan keluarga selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi kepala rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-laki/suami, kecuali kalau perempuan tersebut yaitu seorang janda atau tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga.
            Selama ini, pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi bahwa secara kodrat, perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi pemimpin dalam sebuah keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki. Hal ini menyampaikan dominasi laki-laki pada kiprah domestik. Keadaan tersebut mengakibatkan posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas, ibarat memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan perempuan pada kiprah domestik sepenuhnya menimbulkan potensi perempuan untuk melaksanakan hal produktif menjadi berkurang. Memang, semenjak pertama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah secara resmi sudah menganut dan tetapkan kesepakatan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 45 Pasal 27. Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Seperti dalam UU terkena sistem pengupahan tenaga kerja perempuan, tuntidakboleh keluarga dan tuntidakboleh kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga suami dan belum dewasa tidak mendapatkan tuntidakboleh sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990 ihwal Upah, PP No. 37 Tahun 1967 ihwal Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 ihwal tuntidakboleh kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No. 10/1994 ihwal mekanisme memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas perempuan tahun 2012, sudah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak bisa mengakomodir kesetaraan gender yang sudah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh peluang serta hak-haknya sebagai insan dalam berperan dan berpartisipasi dan mendapatkan manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.
2.2 Kesetaraan Gender di Dunia Perpolitikan Indonesia
Politik pada hakekatnya yaitu upaya untuk merebut kiprah kekuasaan, termasuk jalan masuk dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga ketika ini, kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan jalan masuk perpolitikan bagi perempuan. Melalui jalan masuk perpolitikan, maka kesadaran untuk membincang relasi gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin mengedepan. Kesetaraan gender sebagaimana yang diketahui yaitu produk impor dari negeri barat ihwal adanya tuntutan  untuk keseimbangan kiprah di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan gender di Indonesia banyak dilakukan di tahun 1980-an. Melalui acara dari Non Governmental Organization (NGO) lokal yang bekerja sama dengan NGO internasional, maka banyak penyadaran ihwal relasi gender yang dilakukan di Indonesia. Banyak perbincangan dan petes dengan tujuan untuk menyadarkan ihwal relasi gender. Jadi, yang dilakukan yaitu melaksanakan petes ihwal urgensi gender mainstreaming  pada masyarakat negara sedang berkembang. Di dunia internasional, banyak NGO yang bergerak di dunia ketiga, contohnya NGO dari Belanda, Jerman, Inggris, dan juga Australia. Banyak acara yang diusung, contohnya ihwal kesetaraan pendidikan, sosial, dan politik yang  disinergikan dengan NGO lokal  Indonesia yang juga bergerak di bidang ini. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Di dunia politik, memang dominasi lelaki masih nampak. Misalnya kalau kita secara kuantitatif berhitung, berapa banyak perempuan yang memasuki daerah pimpinan di perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini yang memang masih menjadi ganjalan di dalam kerangka untuk kesetaraan gender. Namun demikian, di akhir-akhir ini, jalan masuk perempuan di dalam politik memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik praktis. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif, birokrasi, dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan yang terdapat di Indonesia, demikian pula gubernur. Bahkan ada bupati perempuan yang bisa menjabat dua kali periode, demikian pula gubernur. Tidak terhitung yang berlama-lama di parpol dan kemudian berlanjut di forum legislatif. 
Semakin terbuka jalan masuk keterbukaan politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan yang akan bisa berkompetisi dengan kaum lelaki di dalam pentas publik. Oleh lantaran itulah pemdiberian kuota kepada perempuan di dalam representasi politik tentulah tidak penting. Meskipun begitu, ketika ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak tersebut tidak menjamin adanya sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi, representasi, dan akuntabilitas didiberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan perempuan di dalamnya, dan banyak sekali kebijakan yang muncul yang mempunyai sensitivitas gender tidak serta merta terwujud meskipun hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan sebagai masyarakat negara seharusnya sanggup berpartisipasi secara berdikari dalam proses demokrasi ini. Selama ini di Indonesia, kita mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan belum sanggup membuat pilihan politiknya secara mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh suami, atasan, kawan, atau keluarga. Bukti-bukti empiris sudah menyampaikan bahwa kesetaraan gender sudah bukan kasus di negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan yaitu bagaimana biar perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan SDM terutama melalui pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia politik akan semakin nyata. 
2.3 Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
            Pendidikan politik yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan biar masyarakat luas sanggup menjadi Warga Negara  Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan lantaran pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesentidakboleh antara peranan yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan pada banyak sekali peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh lantaran itu, peningkatan kiprah perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai potongan integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang serasi antara laki-laki dan perempuan biar sanggup terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam banyak sekali kegiatan khususnya bidang politik. Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk mempersembahkan pemahaman dan menyatukan persepsi ihwal pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh lantaran itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui forum legislatif, direktur maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu menerima perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani yaitu kasus pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan bisa memanfaatkan peluang dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di tiruana bidang kehidupan, khususnya di tiruana lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, direktur spesialuntuk mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh lantaran itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati kasus perempuan, melaksanakan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, menyampaikan bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus dilakukan pengpertamaan semenjak tataran perumusan kebijakan, proses dan implementasinya, serta penilaian dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu 2014, hingga kesetaraan dan keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia politik seharusnya sanggup mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di partai politik, namun pada faktanya, perempuan sekarang cenderung mudah dipengaruhi untuk mendapatkan money politics. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum sanggup dipahami secara penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, kasus partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan kasus akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna yaitu demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan secara umum dikuasai penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan yaitu wangsit yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, kiprah gender, dan stereotype, sudah membuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling terang dari situasi politik ibarat itu yaitu marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat menunjukkan citra yang tidak menggembirakan. Akar dari tiruana kasus tersebut yaitu budaya patriarki yang menghambat tiruana ruang gerak perempuan di tiruana bidang, termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” spesialuntuk diartikan secara terbatas spesialuntuk untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya. Keterwakilan perempuan yaitu untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, yaitu bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri lantaran mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang representative, pandangan dari kelompok yang tidak sama harus dipertimbangkan dalam memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan yaitu dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender.
2.4 Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
            Pada dasarnya, kuota 30% yang didiberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam tubuh legislatif yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 ihwal Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 ihwal Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memdiberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan spesialuntuk berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena gres dan menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak cita-cita dan peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan usaha perempuan yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada peluang kali ini, publik akan mempersembahkan penilaian eksklusif terhadap partai-partai politik penerima pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap usaha serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari banyak sekali forum swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak menentukan gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan Undang-Undang ihwal keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting lantaran jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan kiprah perempuan dalam forum legislatif, terlebih jabatan direktur sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini menyampaikan bahwa keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan. melaluiataubersamaini adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang 30% di tubuh legislatif ketika pemilu 2009 tersebut, ibarat diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada affirmative action yang mempersembahkan previlage tertentu, sehingga mempersembahkan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menyampaikan keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk dewan perwakilan rakyat RI 18% dari sebelumnya yang spesialuntuk 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%.
            Berdasarkan data tersebut di  atas, kurang adanya akreditasi terhadap pentingnya kiprah perempuan dalam proses politik, sudah terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam perencanaan pembangunan, meskipun semenjak usang sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming ihwal perempuan sebagai potongan dan samasukan dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan memakai pendekatan “Women In Development Approach (WID)”. Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh tiruana elemen pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun upaya–upaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh penggerak perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”.  Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan perempuan secara sosial dan struktural sanggup berpartisipasi dalam proses kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik. Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik ialah salah satu prinsip usaha para penggerak perempuan, hingga diamanatkan dalam konvensi pembatalan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang diputuskan pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga sudah meratifikasi melalui Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, hingga ketika ini usaha menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal lantaran adanya diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih besar lengan berkuasa dalam kehidupan masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan melaksanakan pembenahan-pembenahan semenjak dini.
            Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU ihwal pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan ihwal affirmative action terhadap keterwakilan perempuan dengan mempersembahkan previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya affirmative action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua, diharapkan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum perempuan di bidang politik. Ketiga, diharapkan adanya pencerahan dan pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh forum swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga lain, ihwal unggulnya pemimpin politik perempuan. melaluiataubersamaini usaha itu diharapkan akan mempersembahkan perubahan pandangan ihwal budaya patriarki bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpim politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan imbas sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
            Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat direktur maupun legislatif. Permasalahan ihwal kesetaraan gender ini meliputi beberapa aspek substantif pemahaman ihwal kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, kasus partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan kasus akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna yaitu demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan secara umum dikuasai penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan yaitu wangsit yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, kiprah gender, dan stereotype, sudah membuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling terang dari situasi politik ibarat itu yaitu marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diharapkan banyak sekali upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan mempersembahkan perubahan pandangan ihwal budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan imbas sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
3.2 Saran
Dalam upaya kesetaraan gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan tiruana pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhyepanritalopi. 2013. Menakar RUU Kesetaraan Gender.
( accessed Juni 4, 2013 ).

Bawaslu. 2013. Pentingnya Kesetaraan Gender Dibidang Politik.
( accessed Juni 4, 2013 ).

Hidayati, Khozanah. 2010. Semangat Kartini dalam Perjuangan Kesetaraan Gender Politik.

Syam, Nur. 2013. Membincang Gender di Indonesia.
http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2800 ( accessed Juni 4, 2013 ).

Wartamasyarakat. 2010. Kesetaraan Gender? “Perempuan dan Politik di Indonesia”.



0 Komentar untuk "Contoh Makalah Politik Gender Dan Demokrasi"

Back To Top