TUGAS MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM II
“PEMERINTAHAN INDONESIA DAN HUKUM SYARI’AT ISLAM”
Oleh:
NENNY RACHMAWATI
3215083191
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis sanggup menuntaskan penyusunan makalah yang berjudul “”.
Penulisan makalah ialah salah satu kiprah dan persyaratan untuk menuntaskan kiprah mata kuliah Pendidikan Agama Islam II Departemen Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta.
Dalam penulisan makalah ini penulis memberikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang memmenolong dalam menuntaskan penelitian ini, khususnya kepada :
- Ibu Zakiya Drajat selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam II yang sudah meluangkan waktu, tenaga dan pkiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini
- Rekan-rekan tiruana di kelas Pendidikan Fisika Reguler 2008.
- Secara khusus penulis memberikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang sudah mempersembahkan dorongan dan menolongan serta pengertian yang besar kepada penulis.
- Semua pihak yang tidak sanggup disebutkan satu persatu, yang sudah mempersembahkan menolongan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah mempersembahkan imbalan yang setimpal pada mereka yang sudah mempersembahkan menolongan, dan sanggup mengakibatkan tiruana menolongan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak belum sempurnanya-belum sempurnanya baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu Koreksi dan masukan dari tiruana pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Jakarta, November 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................................................ 3
Bab I Penlampauan................................................................................................................ 4
Latar Belakang.............................................................................................................. 4
Tujuan Penulisan........................................................................................................... 4
Metode Penulisan......................................................................................................... 4
Sistematika Penulisan................................................................................................... 4
Bab II Pembahasan................................................................................................................ 6
Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah........................................... 6
Ahlus Sunnah wal Jamaah............................................................................................ 6
Indonesia Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati?..................................................... 7
Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia lantaran Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam? 11...................................................................................................................................... ...................................................................................................................................... ...................................................................................................................................... ...................................................................................................................................... ......................................................................................................................................
Apabila pemerintah itu berlaku zalim........................................................................... 13
Hikmah terus mentaati pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan....................... 14
Syarat Boleh Memerangi Pemerintah........................................................................... 15
Bab III Penutup..................................................................................................................... 16
Kesimpulan................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Allah SWT. membuat insan di muka bumi untuk menjadi seorang khalifah atau pemimpin. Seorang pemimpin haruslah selalu berpedoman kepada kitabullah Al-Qur’anul kariim dan juga kepada al-hadits. Tentu saja system kepemimpinannya harus sesuai dengan aturan syari’at Islam.
Di negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari banyak sekali suku dan agama mengakibatkan Indonesia tidak bisa menjadi negara Islam walaupun lebih banyak didominasi penduduknya yakni umat Islam. Sehingga system pemerintahan yang dianut pun bukan aturan syari’at Islam, melainkan berpedoman pada Pancasila.
Untuk beberapa golongan, hal ini dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan dan membangkang kepada Pemerintahan Indonesia.
Tujuan
Makalah yang disusun bertujuan untuk memenuhi kiprah individu mata kuliah Pendidikan Agama Islam II. Selain itu, makalah ini juga disusun untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan ihwal pemahaman agama Islam bagi penulis maupun pembaca.
Metode Penulisan
Pada penyusunan makalah ini, penulis memakai metode studi pustaka, selain dengan memakai buku cetak sebagai referensi, penulis juga melaksanakan studi pustaka dengan memakai media internet.
Sistematika Penulisan
- Halaman Judul (cover)
- Kata Pengantar
- Daftar Isi
- Bab I Penlampauan
o Latar Belakang
o Tujuan
o Metode Penulisan
o Sistematika Penulisan
- Bab II Pembahasan
o Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah
o Ahlus Sunnah wal Jamaah
o Indonesia Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati?
o Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia lantaran Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?
o Apabila pemerintah itu berlaku zalim
o Hikmah terus mentaati pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan
o Syarat Boleh Memerangi Pemerintah
- Bab III Penutup
o Kesimpulan
- Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah
Allah S.W.T berfirman:
”Hai orang-orang yang diberiman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara engkau. Kemudian kalau engkau berlainan pendapat ihwal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), kalau engkau benar-benar diberiman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An Nisaa: 59)
Sabda Rasulullah S.A.W:
”Barangsiapa yang mentaatiku maka ia mentaati Allah dan sesiapa yang menderhakaiku maka ia juga menderhakai Allah dan barangsiapa yang mentaati pemerintah maka ia mentaati saya dan sesiapa yang derhaka pada pemerintah maka ia menderhakaiku.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad]
Berdasarkan ayat dan hadis di atas ulama’ Ahlus Sunnah wal Jamaah sudah setuju bahwa mentaati pemerintah muslim itu yakni wajib.
Ahlus Sunnah wal Jamaah
Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 kelompok dan spesialuntuk satu kelompok yang dipastikan selamat dan jaya di dunia dan akhirat. Para ulama kita setuju bahwa satu kelompok yang dijamin selamat tersebut yakni kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun seiring waktu, hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi semakin pudar dan asing, bahkan bertolak belakang dengan paham keumuman. Tulisan ini mencoba menuntun Anda dalam memaknai Hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah: Mereka yang menempuh menyerupai apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah ‘Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in. Disebut Ahlus Sunnah, lantaran kuatnya (mereka) berpegang dan diberittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in.
As-Sunnah berdasarkan bahasa yakni jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan berdasarkan ulama ‘aqidah, as-Sunnah yakni petunjuk yang sudah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik ihwal ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini yakni as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela. [Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 16]
Pengertian as-Sunnah berdasarkan Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup beberapa aspek di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh lantaran itu generasi Salaf terlampau tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup beberapa aspek ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab]
Disebut al-Jama’ah, lantaran mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang sudah menjadi janji Salaful Ummah. [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah]
Jama’ah berdasarkan ulama ‘aqidah yakni generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, lantaran berkumpul di atas kebenaran.
Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) setelah mereka.”
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah yakni orang yang memiliki sifat dan aksara mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang gres dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka yakni orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’.
Berkata Syeikh Thahawi dalam matan ‘Aqidah:
”Dan bukanlah dari ‘aqidah kami -ahli sunnah- menentang pemerintah walaupun mereka itu berlaku zalim dan tidak pula kami mendoakan kejahatan atas mereka, adapun ‘aqidah kami yakni mentaati mereka itu bermakna mentaati Allah Azza wa Jalla yaitu satu kefardhuan atas kami selama mana mereka tidak menyuruh melaksanakan maksiat dan kami mendoakan mereka dengan kebaikan dan keampunan.”
Berdasarkan ayat terlampau Allah S.W.T meletakkan syarat pemerintah yang wajib ditaati itu yakni muslim berdasarkan "منكم"(dari Kamu).
Ketaatan kepada pemimpin yakni muqayyad atau tertakluk kepada apa yang bersesuaian dengan syariat Allah adapun yang menyelisihi syara’ maka tiada taat bahkan haram dan wajib ketika itu menasihati pemerintah dan menyuruh kepada makruf.
Dalam hadis Sahih daripada Syaikhan:
”Dari Ibn Umar R.A., Nabi SAW bersabda: Wajib atas muslim itu mematuhi pemerintah dalam masalah yang ia suka mahupun tidak melainkan apabila diperintah melaksanakan maksiat maka ketika itu tidak wajib lagi taat.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari dan Muslim]
Perkataan أولي الأمر berdasarkan ulama’ tafsir merangkumi tiruana jenis pengausa ‘am dan khas menyerupai raja,menteri,khalifah,ulama’ dan penguasa agama menyerupai mufti dan ibu bapa serta suami.
Kewajiban ini mentaati pemerintah ini hadir setelah pemerintah itu melaksanakn keadilan dan menunaikan amanah yang dipertanggungjawabankan atasnya. Ini berdasarkan ayat sebelum ayat ini yaitu surah an-Nisaa’ ayat 58:
|
“Sesungguhnya Allah menyuruh engkau memberikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh engkau) apabila menetapkan aturan di antara insan supaya engkau menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memdiberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah yakni Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ((Q.S An Nisaa: 58) |
Ayat ini Allah S.W.T menujukan khitabnya pada pemerintah untuk melaksanakan keadilan dan kesaksamaan dan menunaikan amanah dengan baik kemudian Allah SWT berpesan pula kepada rakyat untuk mentaati pemerintah dalam ma’ruf.
Indonesia Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati?
Para ulama kaum muslimin seluruhnya setuju akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam masalah yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala sudah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang diberiman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara engkau.” (Q.S An-Nisaa: 59)
Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sudah berwasiat:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian semoga senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah pertanda diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka yakni ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha sudah setuju wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)
Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia lantaran Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?
Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dikala ini yakni pemerintah muslim. sepertiyang juga dimaklumi bahwa aturan Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan alasannya yakni tersebut pemerintah (dan rakyatnya) sudah menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?
Syubhat ini dijawaban oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa diberikut ini:
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya ihwal aturan menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam masalah yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan dihentikan diperangi kecuali kalau ia sudah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
- Dia mengetahui aturan Allah dan Rasul-Nya. Kalau ia tidak tahu, maka ia tidak menjadi kafir lantaran penyelisihannya terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya.
- Motivasi ia berhukum dengan selain aturan Allah yakni keyakinan bahwa aturan Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan aturan lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaa bagi para hamba.
melaluiataubersamaini adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain aturan Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak menetapkan berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu yakni orang-orang yang kafir.” (Q.S Al-Maidah: 44)
Pemerintah yang demikian sudah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.
Adapun kalau ia berhukum dengan selain aturan Allah, namun ia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu yakni wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi ia menyelisihinya lantaran hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka ia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam masalah yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya yakni wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan dihentikan memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali kalau kita melihat kekafiran aktual dimana kita memiliki alasan (dalil) yang terang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menerangkan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain aturan Allah, maka dihentikan dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa aturan tersebut bukan aturan Allah. Ketiga: Dia memandang aturan tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari aturan Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)
Apabila pemerintah itu berlaku zalim
Dalam menghadapi duduk masalah ini Rasulullah SAW. sudah mempersembahkan petunjuk yang amat baik sekali dalam hadis-hadis baginda yang sahih:
”Dari Ibn Abbas R.A.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa yang benci pada pemerintahnya sesuatu (daripada maksiat) maka hendaklah ia bersabar kerana sesiapa yang menentang pemerintah maka ia mati sebagai mana orang Jahiliyyah. [Hadis Sahih: Muttafaq ‘Alaih – Riyadhus Solihin]
“Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata: Kami menemui Ubadah bin Samit ketika ia sakit dan kami berkata padanya: Ceritakanlah pada kami-semog Allah menyembuhkan engkau- akan suatu hadis yang bermanfaa yang engkau dengar dari Rasulullah SAW. maka ia berkata: Rasulullah menyeru kami kemudian kami membaiat baginda dan antara isi baiat itu; hendaklah kami dengar dan taat ketika suka dan benci, susah dan bahagia dan yang memediberi kesan pada kami dan tidakbolehlah kami mencabut urusan (pemerintahan) daripada ahlinya melainkan engkau melihat padanya(pemerintah) kufur yang aktual yang engkau boleh buktikannya di hadapan Allah.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
”Dari Ummu Salamah bahawa Rasulullah SAW. berkata: Akan ada pemimpin-pemimpin yang engkau kenal dan engkau ingkarinya(kerana maksiatnya) maka sesiapa yang menegnali maksiat itu maka ia terlepas (tidak terjebak dalamnya) dan sesiapa yang ingkar maka ia selamat tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang redha dan ikut. Mereka(Sahabat) berkata: Apakah dihentikan kami memerangi mereka? Kata baginda: dihentikan selagi mereka solat.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
”Dari ‘Auf bin Malik daripada Rasulullah SAW. baginda bersabda: Sebaik-baik pemimpin engkau yakni yang engkau menyukai mereka dan mereka menyukai engkau, mereka mendoakan engkau dan begitu juga engkau mendoakan mereka,adapun seburuk-buruk pemimpin engkau yakni yang engkau benci akan mereka begitu juga mereka benci pada engkau, engkau melaknat mereka dan mereka juga melaknat engkau.Ditanya RasulullahS.A.W: Wahai Rasulullah apakah dihentikan kami melawan mereka sahaja dengan pedang? Maka tanggapan Nabi SAW.: Tidak boleh selagi mereka mendirikan solat dan apabila engkau melihat pemimpin engkau akan sesuatu yang engkau benci maka bencilah amalannya tapi tidakboleh ia keluar dari taat. [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
Dari hadis-hadis di atas wajib kepada kita mentaati pemerintah walaupun mereka berlaku zalim selagi mana tidak melaksanakan kekufuran yang nyata. Adapun yang perlu dilakukan oleh muslim yakni menasihati pemerintah itu dan mengingkari maksiatnya ini sebagaimana dalam hadis yang lain:
”Dari Abu Ruqaiyyah Tamim bin Aus Ad-Dari R.A. bahawa Nabi SAW. sudah bersabda: Agama (Islam) itu nasihat. Kami(Sahabat) berkata: Bagi Siapa? Baginda menjawaban: Bagi Allah dan Kitab-Nya dan Rasul-Nya dan Pemimpin-peminpin umat Islam dan ‘Awamnya.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim dan Nasai]
Hikmah terus mentaati pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan
Hikmah petunjuk Nabi SAW. ini amatlah besar bagi maslahat umat di selesai Zaman.Hadis-hadis ini menunjukkan mukjizat Baginda SAW. kerana memdiberitakan masalah yang belum berlaku.
Dari segi politik ia memiliki nilai siasah yang amat tinggi dan penuh licik. Apabila Umat terus mentaati pemerintah maka dengan sendirinya pemerintah tadi akan menjadi lembut hatinya apabila dilembutkan Allah S.W.T dan mahu ia mendengar cakap rakyatnya dan diterima nasihat mereka padanya.
Ini kerana pemerintah apabila rakyatnya itu mengisytiharkan keluar dari taatnya maka keraslah hatinya pada mereka dan engganlah ia mendengar lagi nasihat mereka. Kaprikornus kewajiban menasihati pemerintah spesialuntuk akan berlaku apabila rakyat itu masih taat dan mengiktiraf kepimpinan pemerintah itu.
Adapun alasannya yakni berlakunya kezaliman pemerintah itu kerana rakyat menzalimi diri sendiri dan melaksanakan maksiat. Dalam sejarah kita lihat apabila rakyat mula terpengaruh dengan faham muktazilah maka Allah meletakkan Abdullah Al-Makmun sebagai Khalifah dan menjadi keraslah kerajaan atas Ahli Sunnah dan tersiksalah ulama’ Sunnah sehingga mereka kembali berpegang dengan sunnah maka Allah meletakkan Al-Mutawakkil ‘Alallah maka bersinarlah kembali cahaya Sunnah.
Nabi SAW. menasihati pemerintah dan mendoakan mereka hidayah dan keampunan dan rakyat pula hendaklah sentiasa mengislahkan diri dan memohon ampun supaya dengan berubahnya rakyat itu kepada baik maka Allah akan meletakkan juga pemerintah yang baik kepada mereka.
Antara hikmahnya juga terletak apabila Rasulullah SAW menyuruh kita tidakboleh ikut perintah yang maksiat tetapi dalam masa yang sama terus menasihati dan mengiktiraf pemimpin itu maka dengan sendirinya apabila ia melihat rakyatnya tidak ikut perintahnya yang maksiat maka tidaklah lagi ia akan memerintah dengan maksiat bahkan akan menyuruh yang makruf jua.
Kita misalkan di Malaysia kalau tiruana bangsa Melayu Islam ini dalam partai kerajaan kemudian tiruananya sebulat bunyi mengusulkan supaya kerajaan menegakkan aturan Allah maka sudah tentu ketika itu tiadalah bagi kerajaan itu dihadapannya melainkan menegakkan hudud dan qisas dan lainnya daripada undang-undang Islam.Wallahua’lam.
Syarat Boleh Memerangi Pemerintah
Apabila berlaku kekufuran yang aktual dan tiada pula Majlis Syura yang sanggup mencegah kemungkaran itu menyerupai tiruananya juga menyokong kekufuran itu maka wajiblah diperangi. Misalnya ia menghalalkan arak dan menyuruh orang meminumnya, menukar azan ke bahasa lain,menghalang solat Jamaah, Melarang puasa,melarang pemakaian tudung dan menutup aurat dan lain-lain masalah yang menimbulkan kufur Akbar yang menimbulkan pelakunya murtad wal’iyazubillah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam masalah yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan aturan Allah, alasannya yakni kafirnya seseorang lantaran tidak berhukum dengan aturan Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka aturan asalnya ia yakni muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam masalah yang bukan maksiat kepada Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, spesialuntuklah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
H. Salim Bahreisy (Penterjemah). 1987. Tarjamah Riadhus Shalihin Abu Zakaria Yahya Volume 1. Bandung: PT. Alma’arif
___________________________. 1987. Tarjamah Riadhus Shalihin Abu Zakaria Yahya Volume II. Bandung: PT. Alma’arif
Saiful Mujani. 2007. Muslim demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tag :
Contoh Makalah
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Pai - Pemerintahan Indonesia Dan Aturan Syari’At Islam"